Perjuangan

Membeli buah2an di pasar, dimakan enak…enak…enak…
Tapi menanam sendiri buah itu,menyirami,memupuk,menyiangi,merawat bunga dan buahnya,kemudian memetik dan memakan buahnya…itulah kenikmatan luar biasa yang dapat membawa kita mengerti arti perjuangan dan pengorbanan.
Menuju keberhasilan itu sabar,sabar dan sabar…

Aku Masih Ingat

Aku masih ingat ketika dulu melihatmu,
kau agung dan kau perkasa,
memandang matamu bagai menatap matahari,
tapi sinar matamu bagai cahaya bulan.

Berjuta orang memuja-muja,
beratus  negara membungkukkan kepala,
wahyu itu wahyu nusantara,
kau memimpin negeri kaya bagaikan raja.

Bagiku kau bagaikan malaikat,
kulitmu tak tersentuh kecuali oleh golongan ningrat,
pakaian kebesaranmu harum semerbak
meski kau berorasi tentang kemelaratan dan kebodohan,
aku risih merindukanmu
untuk duduk sederajat dan sebangku denganku,
aku malu begitu malu
kau puncak segala kekuasan,
aku puncak segala ketidakberdayaan.

Matahari selalu terbenam di sebelah barat,
tempat ka’bah dimana aku berkiblat,
amanat kekuasaan kau genggam hingga senja,
dimana malam gelap sebentar lagi kan menjelang,
Tapi ternyata kau tidur terlena,
sejarah emas dulu kau ukirkan
kini berbalut sampul darah dan air mata,
beribu orang dulu kau perjuangkan,
beribu orang kini menghujat.

Tapi aku tetap risih merindukanmu,
bangku dan kursimu jauh berbeda,
dan aku malu sungguh malu,
kau puncak segala kekuasaan,
dan hukum tak berani menjamah,
itu satu suara dulu aku titipkan,
sekedar menunjukkan aku warga negara yang taat,
itu satu juta harapan aku impikan,
ternyata keadilan dan kemakmuran hanya hayalan belaka.

Kau laksana raja,
engkaulah seorang panglima,
tapi aku tidak tahu menyebutmu apa
karena dari ujung kaki hingga ujung kepala
penuh dengan gelar tanda jasa,
beribu gelar kau sandang,
beribu penghargaan kau genggam,
ini negeri milik siapa,
kau bilang, ini negeriku,
rakyat bilang ini negeri kami,
Nelson Mandela bilang itu negerimu.

Aku tidak punya negeri,
karena aku tidak dapat membagi,
aku masih ingat kyaiku saat mengaji,
segala puji milik Allah
yang memiliki dan mengatur seluruh alam semesta,
kekuasaanmu hanyalah titipan,
bahkan menjadi cobaan…

Tapi aku masih ingat
kau bertindak luar biasa,
menggenggam negeri ini dengan tangan perkasa,
dengan pengorbanan darah dan nyawa,
tapi semoga kau ingat,
bahwa semua itu kelak di pertanggungjawabkan
di hadapan negeri sendiri dan di hadapan AIIAH SWT


Pemalang 12 Desember 1998.

Yang Tersisa

Apa yang tersisa dari sebuah pengkhianatan,
hanya sesal dan tangis berkepanjangan.

Manusia dilahirkan sempurna
dengan fitrah dan limpahan kasih sayang
orang tua memuji dan menimang-nimang
berdoa dan berikhtiar
semoga buah hati kelak menjadi anak yang benar.

Anak yang benar
kelak berbakti demi orang tua dan keluarga tercinta,
tapi anak durhaka
dialah pengkhianat yang durjana

KETIKA KEBENARAN DIABAIKAN

Ketika kebenaran diabaikan
kau tak akan berkata tidak meski nuranimu berkata tidak
dan kau akan terhimpit dalam ketakutan
merki seribu pasukan mengawalmu.

Hukum itu untuk siapa
tak lain adalah untuk kita semua
sesungguhnya kita adalah sederajat
punya hak asasi dan kewajiban yang sama
ingatlah dimanapun kau berbuat
kelak akan dipertanggungjawabkan
tak berarti harta benda dikumpulkan
jika amal kebajikan tak kau biasakan
dua tahun lalu
ketika permaisurimu telah tiada
ternyata keagungan itu telah dicabut oleh Yang Maha Kuasa
itulah bukti yang nyata
kekuasaan dunia itu tiada kekal
dan hanya meninggalkan ratapan

Ketika rakyatmu kini kembali menggugat
adalah karena keadilan itu milik semua orang.

Jakarta
22 Desember 1998

MENJEMPUTMU

Ketika aku menjemputMu
ada seberkas kerinduan yang mendalam padaMu
seakan Kau ruh yang bersemayam dalam dadaku
sukma yang memberi kehangatan dalam setiap langkah kakiku.

Tapi ketika Kau datang aku menangis
tidak seperti dulu aku sambut dengan tawa
tawa itu kinimahal harganya
semahal orang berfikir bagaimana mendapatkan sesuap makanan
tapi ternyata tangis ini menjadi begitu indah
karena bersamaMu aku mengerti kehidupan
kehidupan yang dulu pernah diinjak-injak
disia-siakan
dan dicampakkan bagai sampah
citraMu adalah cahaya kesucian
memberi aku penerang di malam yang gelap.

Kau datang padaku di saat negeri ini luluh lantak
di saat tanah ini bersimbah darah dan air mata
di negeri ini banyak orang mengeluh dan berputus asa
pada saat kemarau kebakaran di mana-mana
dan pada saat hujan banjir dimana-mana
negeri ini dulu pernah dipuja-puja
disucikan dan dimuliakan
tiada bangsa lain akan menghina
kini negeriku menangis perih
ditikam dipancung anak sendiri
dimanakah akhlak budi pekerti
bersembunyikah dibalik ketiak reformasi…?

Jakarta
11-12 Desember 1998